“Biaya sosial dari emisi tambahan terhitung kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari AI. Namun, tetap ada kekhawatiran terkait emisi,” tertulis dalam laporan bertajuk “Power Hungry: How AI Will Drive Energy Demand”.
Pengembangan AI telah mendorong peningkatan permintaan daya listrik dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini terjadi di saat dunia masih pontang-panting dalam mereduksi emisi karbon yang membawa petaka di Bumi.
Laporan IMF mencatat, ruang yang didedikasikan untuk gudang-gudang berisi server di Virginia Utara, yang memiliki konsentrasi data center terbesar di dunia, secara kasar sudah setara dengan luas lantai delapan Gedung Empire State.
Diprediksi AI akan membutuhkan listrik global lebih dari 3 kali lipat dibandingkan saat ini, yakni sekitar 1.500 terawatt-hours (TWh) pada 2030 mendatang. Angka itu 1,5 kali lipat lebih besar ketimbang kebutuhan listrik untuk mobil listrik pada periode yang sama.
IMF mengestimasikan AI akan meningkatkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,2% antara 2025-2030. Kebijakan energi hijau akan membatasi peningkatan tersebut menjadi 1,3Gt.
Dengan menggunakan angka US$39 per ton untuk mengukur biaya sosial dari emisi tersebut, IMF memperkirakan biaya tambahan tersebut sebesar US$50,7 hingga US$66,3 miliar.
Angka itu lebih kecil dari keuntungan pendapatan yang dikaitkan dengan peningkatan tahunan 0,5% poin pada PDB global yang dikatakannya dapat dihasilkan oleh AI.
The Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment mengatakan, hal itu bahkan dapat menyebabkan pengurangan menyeluruh dalam emisi karbon jika mempercepat kemajuan dalam teknologi rendah karbon di sektor listrik, pangan, dan transportasi.(ist/cnn)